Khaira bersama kepala sekolah, Dra. Robiyaton, dan guru pendamping.

Ada sebuah kegiatan menarik yang beberapa waktu lalu disiarkan melalui cannel YouTube Kemendikbud RI dan saya menyaksikannya dengan perasaan senang, seolah-olah saya sendiri hadir di sana, di acara peluncuran “Sastra Masuk Kurikulum” itu, yang merupakan salah satu implementasi dari Kurikulum Merdeka. Selain Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, kegiatan tersebut juga dihadiri oleh ratusan orang dengan berbagai latar belakang, entah sebagai tamu undangan maupun sebagai peserta. Yang tak kalah menarik, Darmawinata Persatuan Kemendikbud Ristek, bekerja sama dengan Badan Standar, Kurikulum, dan Aseesment Pendidikan (BSKAP), dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, membagikan 1.800 buku kepada mereka yang hadir di acara tersebut. Kalau saja saat itu anda ada di sana, duduk di antara orang-orang itu, saya cukup yakin anda akan kebagian satu atau dua buah buku meski sebenarnya anda terlalu sibuk untuk membacanya.

Sastra masuk kurikulum, bagaimanapun, merupakan kabar baik; ia bertujuan untuk meningkatkan minat baca para siswa, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas serta nalar kritis. Anda tahu, minat baca masyarakat Indonesia – berdasarkan penelitian United Nation Education Scientific And Cultural (UNESCO) pada 2020 – berada di urutan kedua dari bawah soal literasi. Artinya, minat baca masyarakat kita sangat sangat sangat dan sangat menyedihkan. Mereka lebih senang duduk di warung kopi atau rebahan di kasur empuk sambil mengusap-usap layar gawai ketimbang menekuni halaman-halaman buku.

Melalui Sastra masuk kurikulum, kita bisa berharap minat baca masyarakat Indonesia makin membaik sehingga dapat mewujudkan Indonesia emas pada 2045 nanti. Untuk memudahkan urusan ini, Kemendikbud Ristek bahkan mengeluarkan buku panduan dalam bentuk e-book setebal 784 halaman. Menurut kabar yang beredar, buku Panduan Penggunaan Sastra Masuk Kurikulum tersebut disusun oleh tim kurator buku yang berjumlah tujuh belas orang; empat belas dari mereka merupakan penulis sedang tiga lainnya adalah guru.

Sehari setelah e-book itu disebarkan, Nirwan Dewanto melayangkan surat terbuka yang bernada kritik terhadap tim kurator atau penyusun buku panduan tersebut karena, menurutnya, buku itu tidak memenuhi standar perbukuan manapun, baik dari sisi penyajian, penyuntingan, bahasa maupun isinya. AS Laksana, dalam tulisannya Sebuah Panduan Yang Cerewet Tapi Salah, juga melakukan hal yang kurang lebih sama; ia menyayangkan moralitas yang begitu masif di balik buku panduan itu.

Terlepas dari kritik itu, dan fakta bahwa buku tersebut ditarik dari peredaran untuk direvisi, sastra masuk kurikulum merupakan kabar baik. Bagaimanapun, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya – nilai moral, nilai etika, nilai pendidikan, juga nilai religius – dapat menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Saya sendiri, melalui sastra lisan yang disampaikan oleh ibu saya ketika saya masih kanak-kanak, merasakan nilai-nilai tersebut. Maksud saya, saya pernah mendengar ibu menceritakan kisah Malin Kundang yang, karena durhaka kepada ibunya, berakhir menjadi batu. Batu Belah Batu Bertangkup juga memengaruhi pikiran saya. Karena dua cerita itu, di samping cerita-cerita rakyat yang ada di Kepulauan Riau, saya selalu merasa bersalah dan khawatir kalau-kalau melakukan sesuatu yang tidak disenangi orang tua saya. Apakah anda mempunyai pengalaman yang sama? Kalau ‘ya,’ kita tentu bisa bertukar cerita ketika masih kanak-kanak.

Taufiq Ismail, salah-satu sastrawan Indonesia, sudah membicarakan soal sastra masuk kurikulum dan wajib membaca buku sastra sejak beberapa dekade lalu. Selain melakukan riset terhadap jumlah buku yang dibaca oleh siswa-siswa di sekolah, baik di dalam maupun di luar negeri, ia dan teman-temannya di majalah Horison juga membuat dua program menarik guna memajukan kesastraan Indonesia sekaligus minat baca siswa. Kedua program tersebut adalah Sastrawan Masuk Sekolah dan Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab – anda bisa mencari tahu soal kedua program itu dalam tulisan-tulisan beliau yang terhimpun dalam buku Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit Volume 3. Dalam kegiatan itu, yang diselenggarakan di beberapa sekolah, para sastrawan akan membacakan karya-karya mereka sebelum mengajak para siswa berdiskusi. Ketika membaca buku itu, saya berharap akan ada sastrawan lokal yang datang ke SMA Negeri 6 Tanjungpinang meskipun hanya untuk mempromosikan bukunya.

Pertemuan Ilmiah Nasional (PILNAS) yang berlangsung di Jakarta pada pertengahan Oktober 1999 juga membicarakan soal sastra dan pendidikan. Kegiatan yang bertema “Sastra Masuk Sekolah” itu berlangsung selama dua hari, dan dalam dua hari itu, sekitar 27 makalah dipaparkan oleh para ahli bahasa dan sastrawan, dan 13 di antaranya dikemas dalam buku Sastra Masuk Sekolah.

Saya membaca kumpulan makalah itu untuk kemudian menghubungkan gagasan-gagasan yang ada di dalamnya dengan program Sastra Masuk Kurikulum. Ringkasnya, buku Panduan Penggunaan Sastra Masuk Kurikulum dan daftar buku-buku yang direkomendasikan oleh Kemendikbud Ristek tidak cukup untuk mendorong program Sastra Masuk Kurikulum.

Ada upaya lain yang bisa dilakukan agar program Sastra Masuk Kurikulum berjalan sesuai yang diharapkan. Misalnya, memisahkan pelajaran Bahasa dan Sastra. Upaya lain, tentu saja, mengalokasikan waktu yang cukup untuk pelajaran sastra. Literasi lima belas menit sebelum memulai pelajaran tentu hal yang baik, tetapi ia tidak cukup untuk membentuk kebiasaan membaca bagi para siswa SMA yang tidak terbiasa membaca. Yang paling penting, ketersediaan buku-buku sastra yang bermutu dalam jumlah yang cukup di setiap perpustakaan sekolah. Tanpa buku-buku sastra yang bermutu di perpustakaan, sulit membayangkan program Sastra Masuk Kurikulum akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sebagian dari kita mungkin terbiasa membaca melalui gawai, tetapi sensasi yang dirasakan ketika membaca buku secara langsung, dengan aroma kertas yang khas, dengan hembusan angin yang mengusik teliga, menimbulkan kenikmatan tersendiri.*

 

Daftar Pustaka

Ismail, Taufik, 2008, Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit, Horison, Jakarta Timur

Sarumpaet, Riris K. Toha, 2002, Sastra Masuk Sekolah, Tera, Magelang

AS Laksana2024, ‘Sebuah Panduan yang Cerewet tapi Salah’, dilihat 13 September 2024,https://tengara.id/esai/buku-panduan-sastra-masuk-kurikulum/?fbclid=IwY2xjawFBRHlleHRuA2FlbQIxMQABHflyyQSA85i8xGvCUQU8JAJRNOvjyBThzpooXKscqiIWzEu9psRfrLLKIw_aem_3Gu6bf4gujQPoo10QgsUfA

Catatan:

Esai “Sastra Masuk Kurikulum ; Upaya Merevitalisasi Nilai-Nilai Kemanusiaan Melalui Sastra” ini ditulis oleh Khaira Putri Maharani dan diikutsertakan dalam GEBYAR ESAI SISWA NASIONAL KHMD YBV UNDIKSHA TAHUN 2024, dan berhasil meraih juara 1.

Facebook Comments Box